Kerjasama Bisnis TG:@LIUO9527
Posisi saat ini: Rumah / Pesan / Kisah Inspiratif Orang Tua Siswa PFA Cari Bakat: Punya SSB di Manokwari demi Selamatkan Generasi Muda Papua

Kisah Inspiratif Orang Tua Siswa PFA Cari Bakat: Punya SSB di Manokwari demi Selamatkan Generasi Muda Papua

Penulis:Wartawan Olahraga Tanggal:2025-07-21 11:30:02
Dilihat:12 Pujian
Siswa Papua Football Academy berbaris sebelum coaching clinic bersama legenda Borussia Dortmund yang berlangsung di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Jumat (08/09/2023). (Bola.com/Bagaskara Lazuardi)

Jakarta - Helen Frinda Dewi tampak begitu bersemangat dan menonjol di tribune lapangan sepak bola milik Universitas Cendrawasih (UNCEN), Papua. Sebab saat itu, ada anaknya yang bernama Rafael Yudistira Suila tengah mengikuti PFA Cari Bakat, sebuah ajang yang dilangsungkan Papua Football Academy guna menyaring putra terbaik seantero Papua untuk kemudian digembleng di Mimika Sports Complex, Timika.

Bu Helen, begitu kami menyapanya, bukan satu-satunya orang tua calon siswa PFA yang hadir pada ajang itu. Akan tetapi memang keberadaannya cukup vokal. Beliau di sana tanpa banyak berbicara, namun auranya sangat terasa, seakan memahami betul sepak bola yang suka tidak suka, lebih lekat dengan kaum adam.

"Rafael ini memang dari kecil sudah senang dengan sepak bola. Sampai di usia yang sekarang ini 13 tahun, sangat antusias, punya semangat besar untuk sepak bola," buka Helen saat diwawancara Bola.com. "Jadi Rafael itu orangnya tenang bermain, itu dia konsentrasinya lebih bagus gitu. Minta maaf, masing-masing orang tua pasti tahu anaknya. Itu kalau Rafael punya kelebihan di situ."

Pada PFA Cari Bakat 2025, dari 60 anak Papua berusia maksimal 13 tahun hanya akan disaring menjadi 20 orang saja. Para orang tua pastilah sadar ada yang akan lolos dan tidak. Bagi Helen, jikapun tidak berhasil terpilih, masa depan Rafael masih akan cerah karena sudah mendapatkan pelajaran terbaik selama ajang tersebut.

"Saya sudah pesan Rafa, ini tes, namanya saja tes, nak. Pasti ada yang lolos, ada yang tidak. Jadi apapun nanti hasilnya yang disampaikan oleh PFA, kita bersyukur saja. Puji Tuhan kalau Rafa lolos sampai di Timika dan bisa jadi salah satu siswa di PFA," kata Helen. "Tapi kalaupun tidak lolos, Tuhan siapkan berkat lain, artinya ada kesempatan lain, mungkin Rafa bisa sekolah bola di mana, atau ya nanti dia bisa menyesuaikan. Tapi kalau saya yakin mental anak pasti sudah siap, anak-anak saya pasti siap."


Akrab dengan Dunia Sepak Bola

Daftar 18 Pemain PFA yang Terpilih Mewakili Indonesia di Gothia Cup 2025. (Bola.com/Dok.Cantrik ACL).

Benar saja, Helen Frinda Dewi bukan sekadar ibu yang bersemangat menemani anaknya mengikuti ajang seleksi menuju akademi sepak bola terbaik di Papua - mungkin juga Indonesia, tetapi ternyata beliau memiliki aktivitas lain di dunia sepak bola. Ia bersama sang suami menjalankan sebuah sekolah sepak bola sendiri yang bernama SSB Kasuari.

Helen bercerita bahwa semuanya bermula dari beberapa faktor. Permintaan anaknya agar sang ibunda memiliki sepak bola jadi alasan pertama. "Anak saya yang pertama, dan juga Rafael, dulu bertanya kepada saya, 'kenapa mama tidak bikin sekolah sepak bola?'. Dari situ saya tergerak juga, dan kebetulan suami saya juga mendukung penuh."

Faktor berikutnya tak kalah mulia. Helen mengaku sedih melihat pergaulan anak-anak muda yang salah arah. Kenakalan berujung kriminalitas membuatnya tak kuat hati. Dari sekadar memberikan bantuan moral dan moril seadanya, sosok empat anak ini kemudian benar-benar mewujudkan niat mulianya dengan membangun sekolah sepak bola.

"Jadi puji Tuhan ini, kita akhirnya walaupun dalam scope yang masih lokal, tapi jujur saja kami punya sekolah sepak bola. Jadi sekolah sepak bola ini sebenarnya motivasi utama kami, saya bersama papanya Rafael, kami dirikan sekolah ini untuk membantu anak-anak kita, khusus anak-anak Papua."

"Jadi kita punya SSB, namanya SSB atau PS Kasuari. SSB Kesuari usianya sudah 5 tahun. Dan itu kita bersyukur sekali karena anak-anak yang, maaf kata, ada yang banyak yang kekurangan, ada yang anak kecil-kecil itu mereka sampai larut malam, terus ada yang minum-minum, ada juga yang (menghisap lem) aibon, yang pokoknya sangat merusak begitu generasi muda. Jadi itulah caranya (memperbaiki generasi muda Papua)."

"Kami juga buka SSB ini tidak dipungut biaya, karena kami berpikir ini sekaligus kita merangkul anak-anak kita. Jadi dengan susah payahnya, walaupun kita jujur saja, kita punya siswa itu ada sekitar 4 atau 5 orang yang memang mengonsumsi aibon itu sudah di level yang cukup tinggi."

"Tapi puji Tuhan seiring waktu kami bina, kami rangkul, jadi orang itu asuh sekalian buat anak-anak, ya sekarang mereka sudah normal seperti anak-anak seusia mereka. Jadi di SSB kami itu usia 10 sampai 16 tahun. Jadi sudah memang berat rasanya. Bahkan ada yang jaga parkir pakai baju SSB kami. Tapi kami biarkan saja yang pasti mereka ada dalam lingkungan yang sedikit membantu untuk memperbaiki mereka punya pola hidup."


Suka Cita

Tentu tidak mudah menjalankan sekolah sepak bola dengan segala keterbatasan. Akan tetapi, Helen tak mau kalah semangat dengan anak-anak di SSB Kasuari. Ia juga memiliki cerita unik mengenai perjuangannya dalam mengembangkan SSB-nya.

"Kita bukan kayak Pak Erick Thohir yang modalnya besar-besar. Kita cuma usaha-usaha kontrakan. Yang penting bisa bikin semangat buat anak-anak. Kan macam kita juga di Manokwaris saja itu, Mas, ada SSB, tapi tidak terlalu banyak."

"Jadi saya tuh tiap tahun pasti bikin event pertandingan. Cuek aja pokoknya yang penting di sana, biar kecil-kecil lari. Sudahlah, main situ. Cuma tahun ini saja yang tidak, karena pas dengan event anak mau manten, jadi ya sudahlah. Suami senang sekali. Jadi papanya Rafael kan ketua IMI, ya ampun, suami suka motor, anak suka bola. Jadi di rumah itu, di garasi, di teras itu ada motor balap berapa, parkir. Terus di garasi yang sampingnya bola saja digantung," katanya lagi dengan tawa.

"Tapi syukur latihannya saling mendukung. Saya sayang anak-anak, sampai anak bilang, 'Mama, kasihan kalau dipakai iuran. Mereka mau latihan naik ojek saja, susah. Bahkan itu jalan kaki, pergi latihan jaraknya jauh'. Makanya saya siapkan mobil. Pakai antar-antar itu kan mobil pemerintah. Kasih saja buat anak-anak, antar jemput mereka tidak merusak juga."

"Jadi, apa ya, bukan untuk dipuji, tapi siapa yang mau selamatkan generasi ini? Waktu pas naik mobil ke UNCEN tadi, itu di pinggir jalan (hisap lem aibon), anak muda. Itu sampai pegang lem saja pun, kalau di Jakarta mungkin aneh gitu, tapi di sini kok kayak hal biasa gitu, takut saya, serem gitu."

Komentar

Kirim komentar
Galat kode pemeriksaan, silakan masukkan kembali
avatar

{{ nickname }}

{{ comment.created_at }}

{{ comment.content }}

IP: {{ comment.ip_addr }}
{{ comment.likes }}